Oleh: Dr. Arief Wisnu Wardhana, SH., M.Hum. Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan larangan bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil merupakan salah satu perkembangan penting dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia.
Putusan ini mengembalikan norma kepada semangat asli Undang-Undang Kepolisian, yakni bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Penghapusan frasa yang membuka peluang penugasan langsung memberikan kepastian hukum serta menutup celah terjadinya praktik dwifungsi yang tidak selaras dengan prinsip demokrasi modern.
Dari perspektif akademik, putusan ini memperkuat tiga fondasi utama hukum tata negara: netralitas lembaga penegak hukum, independensi birokrasi sipil, dan keselarasan pembagian kewenangan antar institusi.
Dalam kompleksitas tata kelola negara modern, setiap lembaga dituntut menjalankan fungsi secara terfokus dan profesional. Polri, sebagai alat negara di bidang keamanan dan penegakan hukum, perlu menjaga integritas dan independensinya, terlepas dari dinamika politik maupun tarik menarik jabatan strategis di luar kepolisian.
Namun secara faktual, berbagai lembaga negara selama ini mengandalkan kapasitas investigatif dan kompetensi kepemimpinan anggota Polri aktif, seperti KPK, BNN, BNPT, dan lembaga teknis lainnya. Dalam konteks tersebut, putusan MK menuntut penyesuaian mekanisme penempatan dan kerja sama, tanpa mengurangi efektivitas institusi yang memerlukan keahlian Polri.
Harmonisasi menjadi kata kunci. Polri dan lembaga-lembaga terkait perlu mengganti pola penugasan langsung dengan mekanisme yang lebih normatif, seperti alih status atau kerja sama operasional berbasis mandat institusional.
Kerja sama strategis tetap dapat terjaga melalui MoU, joint task force, asistensi penyidikan, dan pertukaran data. Dengan demikian, kompetensi Polri tetap berkontribusi signifikan tanpa melampaui batas kewenangan konstitusional.
Lebih jauh, putusan ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia di sektor sipil. Ketergantungan pada anggota Polri aktif menunjukkan perlunya peningkatan kualitas ASN melalui pelatihan, rekrutmen berbasis merit, dan pengembangan karier yang sistematis.
Bagi Polri, putusan ini adalah penegasan identitas profesional. Pembatasan jabatan sipil bukanlah pengurangan peran, melainkan penguatan institusi agar tetap fokus pada tugas pokok: melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum.
Selama harmonisasi regulasi dan koordinasi antar lembaga dilakukan secara konsisten, putusan ini akan membawa manfaat besar bagi demokrasi, kepastian hukum, dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia.(rls/linggauklik.com)